Merdeka..
17 Agustus 1945, teks proklamasi Indonesia dibacakan oleh Bapak Bangsa Soekarno. 17 Agustus, 62 tahun setelahnya terasa bangsa ini masih berjuang mencari identitas kebangsaan. Di saat yang sama, pemerintah berkuasa masih tergagap saat bicara visi bangsa…
Bangsa yang miskin identitas perekat. Dulu cukup solid saat masih direkatkan kebencian yang
sama pada penjajah. “United by a common hatred”. Namun itu dahulu. Saat ini apa yang bisa kita banggakan sebagai perekat kesatuan bangsa?
Emosi negatif berupa kebencian dulu pernah menyatukan para patriot kita untuk berjuang melawan penjajah. Memberi mereka energi untuk memerangi musuh bersama. Dan puncaknya mencapai kemerdekaan. Saat ini, emosi negatif serupa itu juga masih berlimpah di negara ini. Sebut saja kebencian, ketakutan dan kekerasan.
Rasanya ada mata rantai yang hilang di sini… Ya, cita-cita bersama mencapai kemerdekaan. Visi menjadi bangsa merdeka. Mimpi yang dimiliki sama-sama dan dengan segala cara coba diwujudkan bersama.
Bicara kebencian dalam wacana kekinian, saya rasa kita punya banyak kebencian. Tapi apa kebencian itu di atas dasar yang sama? Diarahkan oleh tujuan yang sama? Untuk menghadapi musuh bersama?
Kita bisa lihat bersama penjajah-penjajah baru, penanam modal serakah pemerkosa tanah air bangsa, dan kelompok orang bodoh yang hanya memikirkan keuntungan sesaat dengan mengeruk kekayaan bangsa tanpa peduli daya dukung sang bumi.
Kita bisa rasakan betapa bumi meronta. Melemparkan kemarahannya tanpa pandang bulu. Bahkan juga pada mereka yang menyayanginya. Apa salah warga Lapindo terhadap sang bumi hingga kehangatan rumah dan kerukunanan hidup bertetangga terenggut dari mereka? Belum lagi berita banjir dan longsor yang susul menyusul dengan berita kabut asap dan kebakaran yang sudah seperti berita bulan yang naik menyusul tenggelamnya matahari.
Saya membatasi bahasan pada bencana ekologis. Bencana yang merupakan akibat dari keserakan manusia yang berdampak kembali pada manusia. Sebuah mekanisme jaring laba-laba. Di mana semua hal saling berhubungan. Walau kadang, yang melakukan adalah manusia yang satu, namun yang terkena dampak pertama kali adalah manusia yang lain.
Namun jika coba kita baca skema keseluruhannya, dampak pengerusakan lingkungan adalah seperti efek domino yang disusun membentuk lingkaran. Manusia yang memicu robohnya satu domino ibarat terjebak di satu titik disamping domino yang dia dorong. Kecerdasannya untuk tidak berdiri di arah robohnya domino pertama sebenarnya bentuk kebodohannya yang tak dapat membaca lingkaran domino yang berakhir tepat di arah yang tidak dia perhatikan sebelumnya. Hanya perkara waktu sebelum tumpukan domino rubuh dan menimpanya dari arah yang tak ia duga sebelumnya.
Merdeka dari bencana ekologis. Layakkah kita membenci bencana? Lantas kemana mereka yang mengganggu sang bumi hingga sedemikian murka? Halah…tak usah ditanya. Mereka sudah dengan damai di belahan bumi yang lain. Menikmati sepotong surga yang masih tersisa jauh di sana. Mungkin potongan terakhir, karena cepat atau lambat dampak tindakan mereka akan merambat melintas batas negara.
Merdeka dari bencana ekologis selayaknya menjadi tujuan bersama. Cita-cita yang melandasi sebuah bentuk perjuangan baru. Perjuangan dengan kebencian bersama pada keserakahan dan ketidakadilan.
Kemudahan dalam kemusykilan
‘Absurd’. Begitu kata seorang kawan ketika kami bicara perlawanan untuk merdeka dari bencana ekologis. ‘Lha musuhnya siapa?’, dia bertanya dengan nada skeptis. Saya merepet menyebut sejumlah perusahaan tambang dan perkebunan lintas bangsa, kelompok pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan, sejumlah pengusaha lokal hingga pemerintah yang saya anggap sangat permisif pada para penyebab kerusakan tanah air.
‘Kalo sebanyak itu mah, ga mungkeeen!’ katanya lagi. Argumennya, perlawanan menjadi mustahil karena kali ini musuh bangsa meretas dalam berjuta wajah. Ada dalam wajah pengusaha lokal, pemodal asing, bahkan pemerintah. Akibatnya, akan sulit menyatukan kekuatan menghadapi sekian banyak kekuatan lawan.
Dia tidak salah. Jadi benarkah ia?
Naluri mempertahankan diri yang membuat manusia berusaha. Namun ketika manusia berkenalan dengan yang namanya keserakahan, usaha mempertahankan diri dirasa tak lagi mencukupi untuk tetap bertahan hidup.
Kalau kita coba lihat ke dalam diri, mungkin musuh itu malah beredar di dalam nadi kita sendiri. Sudah saatnya kita menakar seberapa jauh usaha kita mempertahankan hidup telah membebani bumi. Sebagai manusia merdeka adalah mutlak pilihan pribadi kita untuk sedapat mungkin mengurangi tekanan kita pada bumi. Melangkah sedikit lebih jauh, membantu bumi memerangi musuhnya.
Kita sudah merdeka toh? Mengapa tidak memilih merdeka dari bencana ekologis?